
Banyak tantangan yang harus kami hadapi. Dimana kita harus bicara untuk menyakinkan mereka. Setiap saat dituntut untuk bisa ngomong dengan semua orang dari berbagai tingkat strata masyarakat, kemudian menjelaskan maksud kedatangan kami kemari, dan kemudian mencoba untuk menjelaskan program yang kami bawa. Ahamdulillah. Masyarakat sangat terbuka dengan program tersebut dan kami bisa lega karena mendapatkan ijin walaupun secara lisan dari lurah setempat. Ya untuk jaga-jaga apabila nanti dimasyarakat terjadi masalah dengan mahasiswa maka kami sudah mendapat persetujuan dari pemerintah setempat.
Ironisnya ketika datang kedukuh-dukuh dan mejelaskan program ini, pikiran pertama yang selalu muncul dibenak mereka adalah mahasiswa datang kesini pakai jas alamameter pasti mau KKN. Saya bilang" Bukan pak, kami bukan mau mengadakan KKN didusun bapak, kami dari mahasiswa ingin membimbing masyarakat yang buta aksara, untuk kami latih supaya dapat membaca" Baru setelah itu kami dipersilahkan masuk dan menyampaikan maksud. Masalah muncul lagi ketika kami menjelaskan program ini akan dijalankan dikampung ini. Apakah ini ada unsur politik atau bukan, mereka mengatakan bahwa disini sudah tidak ada lagi yang buta aksara. Kami terkejut ketika dukuh bilang seperti itu karena informasi tentang warga belajar ini datang dari PKBM daerah setempat. Jadi kami berani berdebat soal itu. Masak iya sih enggak ada yang buta aksara (pikir kami). "Apakah bapak yakin didukuh ini sudah bebas dari buta aksara?" dia menjawab "Iya". Kami tidak menyerah sampai disitu terus kami ajukan pertanyaan lagi "Disini ada berapa RT pak?" di menjawab "ada 8 RT". "Kira-kira dari 8 RT tersebut masihkah satu orang saja yang belum bisa membaca?" dengan pertanyaan sederhana ini mereka baru sadarkan diri dan membuka pikiran mereka. Mereka menjawab "Oh kalau di RT 1 dan 2 kayaknya masih banyak karena disana kawasan yang jarang dikunjungi orang. Masih terpencil dan jarang untuk kegiatan-kegiatan misalnya seperti KKN, kalau perlu nanti hubungi aja pak RTnya..." dijelasin semua sedetil-detilnya.
Ternyata apa, kami memberi kesimpulan bahwa berbicara dengan orang lain yang belum kita kenal itu bukan suatu yang mudah. Masyarakat setempat terutama dirumahnya bapak dukuh biasanya sering digunakan untuk program-program sehingga dari pihak rumah tidak mau lagi untuk direpotkan. Oleh karena itu mereka selalu membuat alasan macam-macam. Solusinya adalah gunakan tempat lain dan jangan merepotkan pak dukuh.
Akhirnya kami dipertemukan dengan kedua RT tersebut kami melobi bareng tentang program ini. Setelah mereka setuju langkah selanjutnya adalah memilih mereka sebagi tutor lokal kemudian diwajibkan mencari warga belajar @ 10 orang.
Bukan pekerjaan yang mudah, bukan? Tapi inilah pekerjaanku sekarang, belajar dan terus belajar lalu praktek. Orang khan biasanya kalau udah mendapatkan teori pinginnya paktek.
wan survey yo neng daerah bambanglipuro kene akeh buta huruf....
BalasHapusUntuk kab. Bantul sek digarap tu cuman di tiga kecamatan e akh.. Ada Pandak, Pundong dan Pajangan. Itu aja. Udah cukup InsyaAlloh.
BalasHapusFotonya kecil amat mas, padahal kan pengen liat daerah2 yg di sebutkan diatas. Dibandung udah makin menyempit daerah2 kaya gitu
BalasHapusIya fotonya kecil2, trims atas masukannya. Saya optimis di Bandung udah jarang ada kawasan seperti itu dan disana jg udah maju khan? Ironi memang. Jogja disebut sebagai kota pelajar toh masih ada yang blm bs calistung terutama dipedesaan. Tau knp?
BalasHapus